BEBERAPA
PENDEKATAN TERHADAP KARYA SASTRA
Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
SEMINAR BAHASA
Dosen Pengampu
Prof. Dr. Nangsari
Ahmad, M. Ph.D
Drs. Sjech
Dullah, M. Pd
Disusun
oleh
Mukardi
NIM 20116011027
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2013
BEBERAPA
PENDEKATAN TERHADAP KARYA SASTRA
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Karya sastra
diciptakan guna menyampaikan gagasan, dan gambaran kehidupan manusia dengan berbagai
permasalahannya. Melalui karya sastra, kita dapat belajar, menambah wawasan
tentang hidup dan kehidupan, serta memperoleh hiburan. Karya sastra merupakan
gambaran tentang kehidupan yang bersifat
penafsiran pengarang terhadap kehidupan nyata, karena sebuah karya sastra tidak
hanya menyampaikan apa yang didengar,
dilihat, atau dirasakan oleh pengarang. Melalui karya sastra, pengarang dapat menyampaikan nilai-nilai yang
bermamfaat bagi pembacanya.
Tarigan
(1984) menjelaskan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran kualitas karya
sastra serta pemberian nilai yag wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan
pengalaman yang jelas, sadar serta kritis, sebagai seorang yang memiliki
pengalaman maupun mengamati sastra bukan hanya bisa melihat dan menafsirkan
saja, melainkan dapat menilai sebuah karya sastra tersebut dari aspek kualitasnya.
Dari
pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi adalah suatu
kegiatan seseorang dalam menggauli karya sastra untuk memberikan
penilaian/pujian terhadap kualitas sebuah karya melalui perasaan atau kepekaan
batin, pemikiran kritis, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai
keindahan yang diungkapkan oleh pengarang.
Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang digunakan
untuk menganalisis sebuah karya sastra berdasarkan struktur unsur-unsurnya. Menurut Pradopo (1997:118), didalam
analisis struktural, unsur-unsur struktur karya sastra merupakan unsur-unsur
yang saling berhubungan erat dan saling menentukan artinya. Jadi, sebuah unsur
tidak memiliki makna dengan sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya.
1.2 Masalah
Masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah menganalisis karya sastra
ditinjau dari beberapa pendekatan?
1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa pendekatan dalam karya
sastra?
2. PEMBAHASAN
2.1 Strukturalisme
Pendekatan
Struktural adalah suatu pendekatan yang memfokuskan pada analisis terhadap
struktur karya sastra. Dalam pendekatan ini, karya sastra dianggap sebagai
sebuah struktur. Ia hadir dan dibagun oleh sejumlah unsur yang berperan penting
secara fungsional. Menurut Wellek dan Werren yang dimaksud dengan struktur adalah isi (content) dan bentuk (form).
Isi berkaitan dengan gagasan yang diekspresikan pengarang sedangkan
bentuk adalah cara pengarang menulis. Masih senada dengan hal tersebut, Pradopo
(1997:118) mengatakan, yang dimaksud dengan struktur karya sastra adalah
susunan unsur-unsur yang bersistem, yang diantara unsur-unsurnya terjadi
hubungan timbal balik, saling menentukan. Lebih lanjut Pradopo (1997:118)
mengatakan, unsur-unsur dalam karya sastra
bukanlah merupakan unsur yang berdiri sendiri, melainkan saling terikat, saling
berkaitan, dan saling bergantung. Jadi, dalam analisis dengan menggunakan
pendekatan struktural, unsur dalam struktur karya sastra tidak meiliki makna
dengan sendirinya, akan tetapi maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan
semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur tersebut (Hawkes dalam
Pradopo, 1997:120).
Menurut
Teeuw analisis struktural mencoba menguraikan keterikatan dan fungsi
masing-masing unsur karya sastra tersebut sebagai kesatuan struktural yang
bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Jadi, unsur karya sastra
tersebut haruslah dipahami sebagai bagian dari keseluruhan karya sastra. Menurut Pradopo dalam Jabrohim (2001:54),
salah satu ciri khas pendekatan struktural adalah adanya anggapan bahwa didalam
dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami
sebagai kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling
berjalinan.
Strukturalisme
adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi
struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya sastra
merupakan suatu karya yang otonom dan ia, dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain.
Ada tiga
bentuk strukturalisme yaitu
strukturalisme klasik, strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik.
Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang paling awal. Ia merupakan
strukturalisme paten. Kajian yang hanya mengkaji struktur semata. Dalam kajian
sastra, struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali yang berkaitan
dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal lain yang perlu diteliti
kecuali struktur karya sastra.
Penerapan
strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara memadukan fakta
sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan
tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antar struktur fakta sastra
tersebut harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian,
peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur tersebut.
Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam novel, maka ia harus tahu
apa itu tokoh dalam novel dan fungsinya tersebut dengan baik dalam struktur
bangunan sebuah novel.
Meski tampak
mampu menggambarkan karya sastra secara objektif, namun di balik itu, ada dua
hal yang menjadi kelemahan strukturalisme macam ini: pertama peneliti
melepaskan sastra dari latar belakangnya dan kedua, ia mengasingkan sastra dari
relevansinya dengan budaya. Bahwa sastra tidak serta lahir begitu saja, ia
dilatar belakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.
Kemudian,
dari kelemahan di atas itu, maka muncullah dua bentuk strukturalisme lain,
yakni strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Yang pertama,
strukturalisme genetik, adalah strukturalisme yang tidak hanya melibatkan
struktur sastra melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial
masyarakat yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu sendriri
adalah “asal usul karya sastra” yang berarti diri
pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia
diciptakan. Tokoh strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman.
Menurut
Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra pengarang utama,
yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau
kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni karya
sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran
kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme
genetik adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya
tersebut terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu
permasalahan-permasalahan yang berhadapan dengan kondisi sosial yang dari sana
pengarang berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang
diimplementasikannya kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti
menangkap pandangan dunia sang sastrawan.
Adapun
penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan
dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial
maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan sosial
kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat
tertentu. Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang sosial
dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan oleh
pengarang. Dan akhir dari kegiatan ini, adalah berhasil untuk mengungkap
pandangan dunia pengarang tersebut.
Yang kedua,
yang lahir dari akibat ketidakpuasan terhadap kajian strukturalisme klasik
adalah strukturalisme dinamik. Maksud “dinamik” di sini mengacu pada dinamika
yang diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang dibekali konsiliasi yang
selalu berubah, ia dianggap sebagai homo significan, makhluk yang
membaca dan menciptakan tanda.
Jadi dapat
dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian strukturalisme dalam
rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan sistem tanda. Tanda
mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar dirinya dan
informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan. Adapun
penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur karya
sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya
sastra dan pembaca.
2.2 Semiotik
Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda dengan menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda dengan menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik merupakan perkembangan atau lanjutan dari
strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat
dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, karya sastra itu merupakan struktur
tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, maka tanda dan
maknanya dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak akan dapat
dimengerti maknanya secara optimal.
Tanda, dalam
semiotik, terdiri dari penanda dan petanda. Penanda (signifier) adalah
bentuk formal yang menandai petanda. Sementara petanda (signified)
adalah sesuatu yang ditandai penanda itu, yakni artinya. Menurut Pradopo,
hubungan antara penanda dan petanda, terjadi dalam tiga bentuk. Yang pertama
dalam bentuk ikon, yakni hubungan yang bersifat alamiah. Contoh gambar kuda
menunjukkan hubungan antara tanda kuda dengan kuda yang sebenarnya (alami).
Yang kedua dalam bentuk indeks, yakni hubungan kausalitas. Contoh asap menandai
adanya api. Yang ketiga simbol, yakni tidak bersifat alamiah atau kausalitas
melainkah hubungannya bersifat abitrer (semau-maunya). Contoh kata “ibu” atau
gambar “bulan bintang” maknanya tidak bisa tentukan begitu saja, ia ditentukan
oleh sebauh konvensi.
Lalu bagaimana langkah kerja kajian
semiotik ini? Caranya adalah dengan menyendirikan satuan-satuan minimal yang
digunakan sistem tanda tersebut dengan memakai hubungan paradigmatik dan
sintagmatik. Kemudian menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya
sastra mempunyai makna.
Dalam kajian
semiotik, ada tiga metode yang dikenal. Pertama, konvensi ketaklangsungan
ekspresi, yakni mengenali makna tanda dengan beberapa cara: menelaah pergantian
arti (displacing of meaning) dengan memperhatikan, memperhatikan
penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creativy
of meaning). Kedua, intertekstual, yakni membandingkan, menjajarkan dan
mengkontraskan karya sastra tersebut dengan teks lain dengan mencari hypogram
atau landasan penciptaan yang menghubungkan karya tersebut dengan karya
sastra lain sebelumnya yang dicerapnya. Untuk lebih jelasnya, nanti, kajian ini
akan dibahas terpisah secara terperinci. Dan ketiga, dengan heruestik dan
hermeneutik, yakni (heruestik) membaca karya sastra berdasarkan struktur dan
memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan kata atau sinonim kata-kata dengan ditempatkan dalam tanda
kurung karya tersebut, contohnya dalam puisi. Selanjutnya, (hermeneutik) yakni
menafsirkannya dengan berusaha memahami secara keseluruhan karya tersebut.
2.3 Intertekstual
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu, suatu karangan yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu, suatu karangan yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Pengertian “teks” tidak hanya yang tertulis saja atau
tidak juga yang suara yang meluncur dari lisan, akan tetapi dalam pengertian
umum, ia adalah dunia semesta ini, adat istiadat, kebudayaan film, drama dan
lain-lain. Semua itu adalah teks juga. Hubungan antar teks, tidak dipandang
melulu bahwa teks yang lahir akibat teks sebelumnya itu senantiasa meneladani
teks sebelumnya, tetapi juga yang menyimpang dan memberontak.
Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan
pendekatan ini adalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva.
Menurut Julia Kristeva, setiap teks merupakan mozaik dan merupakan penyerapan
(transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, setiap teks, mengambil hal-hal yang
bagus lalu diolah kembali dalam sebuah karya baru atau karya baru itu ditulis
setelah melihat, mencerapi, menyerap hal yang menarik baik sadar maupun tidak
sadar. Dalam sastra, yang diserap dapat berupa konvensi sastra atau juga suatu
gagasan. Nah, konvensi dan gagasan yang dicerap itu dapat dikenali apabila kita
membandingkan teks yang menjadi hipogram-nya (yang menjadi landasan
penciptaan) dengan teks yang baru itu. Teks baru yang menyerap itu dan yang
mentrasformasikan hiporgam itu, dalam kajian intertekstual, disebut
dengan “teks transformatif”.
2.4 Resepsi
Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan,
pemahaman dan penelitiannya sepanjang masa dalam seluruh golongan masyarakat
tertentu. Karya sastra sejak ia diterbitkan, selalu akan mendapat tanggapan
dari pembacanya. Demikian asumsi dari para pengkaji sastra lewat pendekatan
resepsi. Mereka dalam mengkaji karya sastra, titik tekan yang dicapat, adalah
respon pembaca
Ada dua macam hubungan pembaca dengan karya sastra.
Yang pertama disebut “horizon harapan” (horizon of espextation),
istilah ini dicetuskan oleh Hans Robert Jauss. “horizon harapan ini” dapat
ditentukan dengan meneliti norma-norma umum yang terpancar dari teks yang telah
dibaca oleh pembaca. Atau dapat dikenali dari pengetahuan dan pengalaman
pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Bisa juga dari
pertentangan antara fiksi dan kenyataan. Yang kedua disebut “tempat-tempat
terbuka” (balnk, opennes), istilah ini dicetuskan oleh Wolfgang Iser.
Iser memperkenalkan Konsep Efek (wirkung) yakni cara sebuah karya mengarahkan
reaksi pembaca terhadapnya.
Menurut Iser, dalam sastra terdapat kesenjangan antara
teks dan pembaca dan disinilah, menurutnya, terjadi kekosongan atau “tempat
terbuka” itu yang kemudian diisi oleh pembaca. Dari kekosongan yang telah diisi
itulah terjadi respon antara pembaca sastra yang berbeda-beda.
Bagaimana cara menerapkan pendekatan ini? Pertama,
dapat dilakukan secara eksperimental. Caranya, menetapkan objek-objek estetik
karya sastra kemudian menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek estetik
tersebut yang kemudian pada akhirnya menentukan relasi antar objek tersebut.
Tujuannya adalah untuk mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, lewat
kritik sastra. Bisa dilakukan dengan dua cara. Secara sinkronik, dalam suatu
kurun waktu atau secara diakronik, dalam sepanjang sejarahnya. Perlu dicatat bahwa pengambilan sampel respon pembaca ini tidak bisa didasarkan pada tanggapan individual,
melainkan dari yang mewakili norma pada masa waktu tertentu. Ketiga, secara
intertekstual. Dengan cara meneliti fenomena resepsi pengarang terhadap yang
pernah dibacanya dilibatkan dalam ciptaannya.
2.5 Stilistika
Secara
bahasa, stilistika berarti pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra.
Sedangkan dalam pengertiannya secara umum, dapat dikatakan, bahwa ia merupakan
bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan perhatiannya kepada variasi
penggunaan bahasa. Fokus penelitian stilistika terhadap sastra adalah untuk
menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat
menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra,
yang mungkin juga dapat diarahkan untuk membahas isi.
Jika yang
dibahas stilistika adalah penggunaan bahasa atau yang
disebut dengan gaya bahasa, tetapi, apa itu gaya bahasa? Menurut Enkvist, gaya
berarti pembungkus yang membungkus pemikiran atau pernyataan yang telah ada
sebelumnya. Bisa juga berarti pilihan di antara pernyataan yang mungkin. Atau
sekumpulan ciri pribadi. Atau bisa juga berarti penyimpangan norma atau kaidah.
Atau hubungan antara sekumpulan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih
luas daripada sebuah kalimat.
Ada yang
berpendapat bahwa gaya bahasa itu sejatinya datang dari kepribadian seseorang
yang tidak bisa ditiru sehingga menjadikan antara satu orang pengarang dengan
pengarang lainnya pasti berbeda, menunjukkan ciri khas. Ada pula yang
berpendapat ia merupakan ciri sebuah teks yang dapat dicontoh. Ada juga yang
menyatakan bahwa ia merupakan kesan yang dihubungkan oleh sebuah kelompok
tertentu, lahir dari sebuah kultur.
Kajian
stilstika di dalam sastra dapat dilakukan dengan menganalisis tentang sistem
linguistik dan membedakan sistem satu dengan sistem lain dengan metode kontras,
mangamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal dan
berusaha menemukan estetisnya.
2.6 Sosiologi Sastra
Sastra
menampilkan kehidupan sementara kehudupan itu sendiri, adalah kenyataan sosial.
Sastra dapat menumbuhkan siakap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan
peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan oleh
sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian
sastra menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi sastra..
Apa yang
maksud dengan sosiologi sastra? Sosiologi sastra adalah kajian sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara
sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa jauhkah nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial mempengaruhi
nilai sastra.
Sosiologi
sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama adalah bahwa ia
mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah karya sastra yang
dikajinya ini memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya
sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan keduanya? Sasaran kedua
adalah konteks sosial dari sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan
bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan
masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh
mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.
Ada beberapa
hal yang perlu diketahui oleh peneliti bahwa sastra mungkin tidak dapat
dikatakan cermin masyarakat saat ia ditulis, bahwa sifat “lain dari yang lain”
sastrawan mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam
karyanya, bahwa genre sosial biasanya/sering merupakan sikap sosial seluruh
masyarakat kelompok tertentu dan bukan sikap seluruh sosial masyarakat dan
bahwa satra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya,
mungkin saja tidak dapat diterima sebagai cerminan masyarakat.
2.7 Dekonstruksi
Dekontruksi
lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf kontemporer bernama Jaques
Derrida yang menolak logosentrisme. Logosentrisme adalah keinginan akan suatu
pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang mampu menjelaskan
segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-menerus untuk menghancurkan dan
meniadakan pemusatan (decentering).
Dalam
aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk membalikkan herarkis terhadap sistem
oposisional yang sudah ada. Kemudian melakukan oposisi-oposisi yang sudah
klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara keseluruhan.
Caranya adalah dengan menentukan oposisi-oposisi tertentu merupakan pemaksaan
ideologi metafisik dengan satu membawa preoposisi-preoposisi dan
peranannya dalam nilai metafisika. Menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan
dalam teks yang mengungkap dan bersandar kepadanya. Mempertanyakan oposisi
dengan memakainya dalam argumen sendiri dan menerima kembali dengan suatu
pembalikan yang memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Akan tetapi
perlu dicatatat bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori. Ia anti teori dan
yang dapat kita ambil adalah hanya semangatnya saja
3. SIMPULAN
Proses
pemaknaan karya sastra dapat dipahami dengan menggunakan berbagai pendekatan,
pendekatan objektif atau struktural merupakan salah satu pendekatan yang dapat
digunakan dalam menganalisis karya sastra. Meskipun analisis sastra dengan
menggunakan pendekatan objektif dalam hal ini analisis strukturalisme mempunyai
beberapa kelemahan, akan tetapi analisis struktural merupakan sesuatu yang
harus dilalui, sebagai sebuah tahap awal dalam proses pemaknaan
karya sastra. Karena arti sesungguhnya dari sebuah karya sastra dapat dipahami dengan berbagai pendekatan dalam menganalisis susunan dan organisasi
karya sastra tersebut
DAFTRA PUSTAKA
Pradopo, Rahmad
Djoko. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik
Pradopo, Rachmat Djoko dkk.
2001. Metodologi Penelitian Sastra. Hanindita Graha Widya Yogyakarta.
Pradotokusumo, Partini Sardjono.
2005. Pengkajian Sastra. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Ratna,
Nyoman Kutha, 2012. Teori, Metode dan
Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Ralih, Rina. Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra