Friday, 26 April 2013

Beberapa Pendekatan Terhadap Karya Sastra



BEBERAPA PENDEKATAN TERHADAP KARYA SASTRA

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
SEMINAR BAHASA

Dosen Pengampu
Prof. Dr. Nangsari Ahmad, M. Ph.D
Drs. Sjech Dullah, M. Pd

Disusun oleh
Mukardi
NIM 20116011027

logo

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2013

BEBERAPA PENDEKATAN TERHADAP KARYA SASTRA
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
            Karya sastra diciptakan guna menyampaikan gagasan, dan gambaran  kehidupan manusia dengan berbagai permasalahannya. Melalui karya sastra, kita dapat belajar, menambah wawasan tentang hidup dan kehidupan, serta memperoleh hiburan. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang bersifat penafsiran pengarang terhadap kehidupan nyata, karena sebuah karya sastra tidak hanya menyampaikan apa yang didengar,  dilihat, atau dirasakan oleh pengarang. Melalui karya sastra,  pengarang dapat menyampaikan nilai-nilai yang bermamfaat bagi pembacanya.
Tarigan (1984) menjelaskan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran kualitas karya sastra serta pemberian nilai yag wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang jelas, sadar serta kritis, sebagai seorang yang memiliki pengalaman maupun mengamati sastra bukan hanya bisa melihat dan menafsirkan saja, melainkan dapat menilai sebuah karya sastra tersebut dari aspek kualitasnya.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi adalah suatu kegiatan seseorang dalam menggauli karya sastra untuk memberikan penilaian/pujian terhadap kualitas sebuah karya melalui perasaan atau kepekaan batin, pemikiran kritis, pemahaman, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh pengarang.

Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra berdasarkan struktur unsur-unsurnya. Menurut Pradopo (1997:118), didalam analisis struktural, unsur-unsur struktur karya sastra merupakan unsur-unsur yang saling berhubungan erat dan saling menentukan artinya. Jadi, sebuah unsur tidak memiliki makna dengan sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya.

1.2  Masalah
Masalah dalam makalah ini adalah bagaimanakah menganalisis karya sastra ditinjau dari beberapa pendekatan?

1.3 Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa pendekatan dalam karya sastra?

2. PEMBAHASAN

2.1 Strukturalisme
            Pendekatan Struktural adalah suatu pendekatan yang memfokuskan pada analisis terhadap struktur karya sastra. Dalam pendekatan ini, karya sastra dianggap sebagai sebuah struktur. Ia hadir dan dibagun oleh sejumlah unsur yang berperan penting secara fungsional. Menurut Wellek dan Werren  yang dimaksud dengan struktur adalah isi (content) dan bentuk (form).  Isi berkaitan dengan gagasan yang diekspresikan pengarang sedangkan bentuk adalah cara pengarang menulis. Masih senada dengan hal tersebut, Pradopo (1997:118) mengatakan, yang dimaksud dengan struktur karya sastra adalah susunan unsur-unsur yang bersistem, yang diantara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Lebih lanjut Pradopo (1997:118) mengatakan,  unsur-unsur dalam karya sastra bukanlah merupakan unsur yang berdiri sendiri, melainkan saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung. Jadi, dalam analisis dengan menggunakan pendekatan struktural, unsur dalam struktur karya sastra tidak meiliki makna dengan sendirinya, akan tetapi maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur tersebut (Hawkes dalam Pradopo, 1997:120).
            Menurut Teeuw analisis struktural mencoba menguraikan keterikatan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra tersebut sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Jadi, unsur karya sastra tersebut haruslah dipahami sebagai bagian dari keseluruhan karya sastra.  Menurut Pradopo dalam Jabrohim (2001:54), salah satu ciri khas pendekatan struktural adalah adanya anggapan bahwa didalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan.
            Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur. Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya sastra merupakan suatu karya yang otonom dan ia, dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain.
Ada tiga bentuk strukturalisme yaitu strukturalisme klasik, strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang hanya mengkaji struktur semata. Dalam kajian sastra, struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali yang berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal lain yang perlu diteliti kecuali struktur karya sastra.
Penerapan strukturalisme klasik dalam karya sastra dilakukan dengan cara memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna sastra dapat dipahami dengan jelas. Akan tetapi perlu dicatat bahwa pemahaman dan pengkajian antar struktur fakta sastra tersebut harus ditopang oleh pengetahuan yang mendalam tentang pengertian, peran, fungsi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan unsur tersebut. Misalnya, ketika peneliti membahas unsur tokoh dalam novel, maka ia harus tahu apa itu tokoh dalam novel dan fungsinya tersebut dengan baik dalam struktur bangunan sebuah novel.
Meski tampak mampu menggambarkan karya sastra secara objektif, namun di balik itu, ada dua hal yang menjadi kelemahan strukturalisme macam ini: pertama peneliti melepaskan sastra dari latar belakangnya dan kedua, ia mengasingkan sastra dari relevansinya dengan budaya. Bahwa sastra tidak serta lahir begitu saja, ia dilatar belakangi oleh hal-hal yang berada di luar dirinya.
Kemudian, dari kelemahan di atas itu, maka muncullah dua bentuk strukturalisme lain, yakni strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik. Yang pertama, strukturalisme genetik, adalah strukturalisme yang tidak hanya melibatkan struktur sastra melainkan juga kehidupan pengarang dan kondisi sosial masyarakat yang mendorong karya itu lahir. Arti genetik itu sendriri adalah “asal usul karya sastra” yang berarti diri pengarang dan kenyataan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan. Tokoh strukturalisme genetik adalah Lucien Goldman.
Menurut Goldman, ada dua macam karya sastra. Pertama, karya sastra pengarang utama, yakni karya sastra yang strukturnya sebangun dengan struktur kelompok atau kelas sosial tertentu. Kedua, karya sastra pengarang kelas dua, yakni karya sastra yang sekedar raproduksi segi permukaan realitas sosial dan kesadaran kolektif. Nah, karya sastra yang cocok diteliti dengan kajian strukturalisme genetik adalah karya sastra yang pertama, karena, menurut Goldman, di dalam karya tersebut terdapat apa yang disebut dengan “problematik hero” yaitu permasalahan-permasalahan yang berhadapan dengan kondisi sosial yang dari sana pengarang berusaha mendapatkan/menentukan suatu nilai tertentu yang diimplementasikannya kedalam karyanya. Mengetahui nilai tersebut berarti menangkap pandangan dunia sang sastrawan.
Adapun penerapan terhadap pendekatan strukturalisme genetik ini, dapat dilakukan dengan dimulai dari kajian unsur-unsur intrinsik sastra, baik secara parsial maupun kajian keseluruhan. Kemudian mengkaji latar belakang kehidupan sosial kelompok pengarang karena ia merupakan bagian dari komunitas masyarakat tertentu. Di samping itu tidak luput juga untuk mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat ia diciptakan oleh pengarang. Dan akhir dari kegiatan ini, adalah berhasil untuk mengungkap pandangan dunia pengarang tersebut.
Yang kedua, yang lahir dari akibat ketidakpuasan terhadap kajian strukturalisme klasik adalah strukturalisme dinamik. Maksud “dinamik” di sini mengacu pada dinamika yang diakibatkan pembacaan kreatif dan pembaca yang dibekali konsiliasi yang selalu berubah, ia dianggap sebagai homo significan, makhluk yang membaca dan menciptakan tanda.
Jadi dapat dikatakan bahwa strukturalisme dinamik adalah kajian strukturalisme dalam rangka semiotik. Artinya, karya sastra dikaitkan dengan sistem tanda. Tanda mempunyai dua fungsi: otonom, yakni tidak menunjuk di luar dirinya dan informasional, yakni menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasan. Adapun penerapannya dapat dilakukan dengan pertama-tama menjelaskan struktur karya sastra yang diteliti. Kemudian menjelaskan kaitan pengarang, realitas, karya sastra dan pembaca.
2.2 Semiotik
            
Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang tanda. Ia mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda dengan menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik merupakan perkembangan atau lanjutan dari strukturalisme. Strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik. Alasannya, karya sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, maka tanda dan maknanya dan konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak akan dapat dimengerti maknanya secara optimal.
Tanda, dalam semiotik, terdiri dari penanda dan petanda. Penanda (signifier) adalah bentuk formal yang menandai petanda. Sementara petanda (signified) adalah sesuatu yang ditandai penanda itu, yakni artinya. Menurut Pradopo, hubungan antara penanda dan petanda, terjadi dalam tiga bentuk. Yang pertama dalam bentuk ikon, yakni hubungan yang bersifat alamiah. Contoh gambar kuda menunjukkan hubungan antara tanda kuda dengan kuda yang sebenarnya (alami). Yang kedua dalam bentuk indeks, yakni hubungan kausalitas. Contoh asap menandai adanya api. Yang ketiga simbol, yakni tidak bersifat alamiah atau kausalitas melainkah hubungannya bersifat abitrer (semau-maunya). Contoh kata “ibu” atau gambar “bulan bintang” maknanya tidak bisa tentukan begitu saja, ia ditentukan oleh sebauh konvensi.
Lalu bagaimana langkah kerja kajian semiotik ini? Caranya adalah dengan menyendirikan satuan-satuan minimal yang digunakan sistem tanda tersebut dengan memakai hubungan paradigmatik dan sintagmatik. Kemudian menentukan konvensi-konvensi yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.
Dalam kajian semiotik, ada tiga metode yang dikenal. Pertama, konvensi ketaklangsungan ekspresi, yakni mengenali makna tanda dengan beberapa cara: menelaah pergantian arti (displacing of meaning) dengan memperhatikan, memperhatikan penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creativy of meaning). Kedua, intertekstual, yakni membandingkan, menjajarkan dan mengkontraskan karya sastra tersebut dengan teks lain dengan mencari hypogram atau landasan penciptaan yang menghubungkan karya tersebut dengan karya sastra lain sebelumnya yang dicerapnya. Untuk lebih jelasnya, nanti, kajian ini akan dibahas terpisah secara terperinci. Dan ketiga, dengan heruestik  dan hermeneutik, yakni (heruestik) membaca karya sastra berdasarkan struktur dan memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan kata atau sinonim kata-kata dengan ditempatkan dalam tanda kurung karya tersebut, contohnya dalam puisi. Selanjutnya, (hermeneutik) yakni menafsirkannya dengan berusaha memahami secara keseluruhan karya tersebut.
2.3 Intertekstual
            
Intertekstual merupakan kajian teks yang melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual. Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra. Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh dengan makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu, suatu karangan yang menentukan dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain.
Pengertian “teks” tidak hanya yang tertulis saja atau tidak juga yang suara yang meluncur dari lisan, akan tetapi dalam pengertian umum, ia adalah dunia semesta ini, adat istiadat, kebudayaan film, drama dan lain-lain. Semua itu adalah teks juga. Hubungan antar teks, tidak dipandang melulu bahwa teks yang lahir akibat teks sebelumnya itu senantiasa meneladani teks sebelumnya, tetapi juga yang menyimpang dan memberontak.
Tokoh pertama dalam dunia filsafat yang memperkenalkan pendekatan ini adalah Jecques Derrida, kemudian diperdalam oleh Julia Kristeva. Menurut Julia Kristeva, setiap teks merupakan mozaik dan merupakan penyerapan (transformasi) teks-teks lain. Maksudnya, setiap teks, mengambil hal-hal yang bagus lalu diolah kembali dalam sebuah karya baru atau karya baru itu ditulis setelah melihat, mencerapi, menyerap hal yang menarik baik sadar maupun tidak sadar. Dalam sastra, yang diserap dapat berupa konvensi sastra atau juga suatu gagasan. Nah, konvensi dan gagasan yang dicerap itu dapat dikenali apabila kita membandingkan teks yang menjadi hipogram-nya (yang menjadi landasan penciptaan) dengan teks yang baru itu. Teks baru yang menyerap itu dan yang mentrasformasikan hiporgam itu, dalam kajian intertekstual, disebut dengan “teks transformatif”.

2.4 Resepsi
             Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan, pemahaman dan penelitiannya sepanjang masa dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Karya sastra sejak ia diterbitkan, selalu akan mendapat tanggapan dari pembacanya. Demikian asumsi dari para pengkaji sastra lewat pendekatan resepsi. Mereka dalam mengkaji karya sastra, titik tekan yang dicapat, adalah respon pembaca
Ada dua macam hubungan pembaca dengan karya sastra. Yang pertama disebut “horizon harapan”  (horizon of espextation), istilah ini dicetuskan oleh Hans Robert Jauss. “horizon harapan ini” dapat ditentukan dengan meneliti norma-norma umum yang terpancar dari teks yang telah dibaca oleh pembaca. Atau dapat dikenali dari pengetahuan dan pengalaman pembaca atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya. Bisa juga dari pertentangan antara fiksi dan kenyataan.  Yang kedua disebut “tempat-tempat terbuka” (balnk, opennes), istilah ini dicetuskan oleh Wolfgang Iser. Iser memperkenalkan Konsep Efek (wirkung) yakni cara sebuah karya mengarahkan reaksi pembaca terhadapnya.
Menurut Iser, dalam sastra terdapat kesenjangan antara teks dan pembaca dan disinilah, menurutnya, terjadi kekosongan atau “tempat terbuka” itu yang kemudian diisi oleh pembaca. Dari kekosongan yang telah diisi itulah terjadi respon  antara pembaca sastra yang berbeda-beda.
Bagaimana cara menerapkan pendekatan ini? Pertama, dapat dilakukan secara eksperimental. Caranya, menetapkan objek-objek estetik karya sastra kemudian menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek estetik tersebut yang kemudian pada akhirnya menentukan relasi antar objek tersebut. Tujuannya adalah untuk mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, lewat kritik sastra. Bisa dilakukan dengan dua cara. Secara sinkronik, dalam suatu kurun waktu atau secara diakronik, dalam sepanjang sejarahnya. Perlu dicatat bahwa pengambilan sampel respon pembaca ini tidak bisa didasarkan pada tanggapan individual, melainkan dari yang mewakili norma pada masa waktu tertentu. Ketiga, secara intertekstual. Dengan cara meneliti fenomena resepsi pengarang terhadap yang pernah dibacanya dilibatkan dalam ciptaannya.

2.5 Stilistika
            Secara bahasa, stilistika berarti pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sedangkan dalam pengertiannya secara umum, dapat dikatakan, bahwa ia merupakan bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan perhatiannya kepada variasi penggunaan bahasa. Fokus penelitian stilistika terhadap sastra adalah untuk menentukan suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam sebuah karya sastra, yang mungkin juga dapat diarahkan untuk membahas isi.
Jika yang dibahas stilistika adalah penggunaan bahasa atau yang disebut dengan gaya bahasa, tetapi, apa itu gaya bahasa? Menurut Enkvist, gaya berarti pembungkus yang membungkus pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya. Bisa juga berarti pilihan di antara pernyataan yang mungkin. Atau sekumpulan ciri pribadi. Atau bisa juga berarti penyimpangan norma atau kaidah. Atau hubungan antara sekumpulan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat.
Ada yang berpendapat bahwa gaya bahasa itu sejatinya datang dari kepribadian seseorang yang tidak bisa ditiru sehingga menjadikan antara satu orang pengarang dengan pengarang lainnya pasti berbeda, menunjukkan ciri khas. Ada pula yang berpendapat ia merupakan ciri sebuah teks yang dapat dicontoh. Ada juga yang menyatakan bahwa ia merupakan kesan yang dihubungkan oleh sebuah kelompok tertentu, lahir dari sebuah kultur.
Kajian stilstika di dalam sastra dapat dilakukan dengan menganalisis tentang sistem linguistik dan membedakan sistem satu dengan sistem lain dengan metode kontras, mangamati deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal dan berusaha menemukan estetisnya.
2.6 Sosiologi Sastra
            Sastra menampilkan kehidupan sementara kehudupan itu sendiri, adalah kenyataan sosial. Sastra dapat menumbuhkan siakap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan institusi sosial yang ditentukan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian sastra menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi sastra..
Apa yang maksud dengan sosiologi sastra? Sosiologi sastra adalah kajian sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan gambaran lengkap, utuh dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra dan masyarakat. Yakni: seberapa jauhkah nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan seberapa jauhkah nilai sosial mempengaruhi nilai sastra.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas. Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari sebuah karya sastra: apakah karya sastra yang dikajinya ini memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan keduanya? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari  sastrawan itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu diketahui oleh peneliti bahwa sastra mungkin tidak dapat dikatakan cermin masyarakat saat ia ditulis, bahwa sifat “lain dari yang lain” sastrawan mempengaruhi pemilihan dan penampilan  fakta-fakta sosial dalam karyanya, bahwa genre sosial biasanya/sering merupakan sikap sosial seluruh masyarakat kelompok tertentu dan bukan sikap seluruh sosial masyarakat dan bahwa satra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dapat diterima sebagai cerminan masyarakat.
2.7 Dekonstruksi
              Dekontruksi lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf kontemporer bernama Jaques Derrida yang menolak logosentrisme. Logosentrisme adalah keinginan akan suatu pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang mampu menjelaskan segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering).
Dalam aplikasinya, dekonstruksi berusaha untuk membalikkan herarkis terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Kemudian melakukan oposisi-oposisi yang sudah klasik, pemelesetan besar-besaran terhadap sistem itu secara keseluruhan. Caranya adalah dengan menentukan oposisi-oposisi tertentu merupakan pemaksaan ideologi  metafisik dengan satu membawa preoposisi-preoposisi dan peranannya dalam nilai metafisika. Menunjukkan bagaimana sistem itu dihancurkan dalam teks yang mengungkap dan bersandar kepadanya. Mempertanyakan oposisi dengan  memakainya dalam argumen sendiri dan menerima kembali dengan suatu pembalikan yang memberinya status akibat dan akibat yang berbeda. Akan tetapi perlu dicatatat bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori. Ia anti teori dan yang dapat kita ambil adalah hanya semangatnya saja
3. SIMPULAN
Proses pemaknaan karya sastra dapat dipahami dengan menggunakan berbagai pendekatan, pendekatan objektif atau struktural merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis karya sastra. Meskipun analisis sastra dengan menggunakan pendekatan objektif dalam hal ini analisis strukturalisme mempunyai beberapa kelemahan, akan tetapi analisis struktural merupakan sesuatu yang harus dilalui,  sebagai sebuah tahap awal dalam proses pemaknaan  karya sastra. Karena arti sesungguhnya dari sebuah karya sastra  dapat dipahami dengan berbagai pendekatan dalam menganalisis susunan dan organisasi karya sastra tersebut









DAFTRA PUSTAKA
Pradopo, Rahmad Djoko. Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik
Pradopo, Rachmat Djoko dkk.  2001. Metodologi Penelitian Sastra. Hanindita Graha Widya Yogyakarta.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Ratna, Nyoman Kutha, 2012. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Ralih, Rina. Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra


Friday, 5 April 2013

Perubahan Bahasa



PERUBAHAN BAHASA

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
SOSIOLINGUISTIK

Dosen Pengampu
1.Prof. Dr. Rusman Roni, M.Pd
2.Dra. Hj.Yenny Puspita, M.Pd


Disusun oleh
HALIJAH
MUKARDI



logo


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
2013

PERUBAHAN BAHASA

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan pesan yang ada dalam pikirannya ke dalam bentuk lisan maupun tulisan. Secara internal bahasa dapat dikaji melalui struktur fonologi, morfologi, sintaksis, sampai struktur wacananya. Sedangkan kajian secara eksternal berkaitan dengan faktor-faktor yang ada di luar bahasa, seperti faktor sosiolinguistik, psikolinguistik, seni, dan sebagainya. Kajian eksternal bahasa melahirkan disiplin baru yang merupakan kajian antara dua bidang ilmu  atau lebih. Seperti sosiolinguistik yang merupakan kajian antara sosiologi dan linguistik, psikolinguistik merupakan kajian psikologi dan linguistik, neurolinguistik merupakan kajian  antara  neurologi dan linguistik.
Dalam pengguna bahasa tersebut,  belakangan ahli bahasa  dalam pengguna bahasa  tidak  hanya dapat  mengamati bagaimana sebuah bahasa terdistribusi  di masyarakat, tetapi juga bagaimana  sebuah perubahan terjadi dalam suatu bahasa.
Dewasa ini adanya perubahan bahasa ditinjau dari pandangan tradisional, perubahan – perubahan yang sedang terjadi dan mekanisme perubahan,  para ahli banyak yang memperdebatkan masalah perubahan bahasa, apakah dapat diamati atau tidak.

1.2  Perumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana  perubahan bahasa ditinjau dari perubahan yang sedang terjadi, pandangan tradisional, dan mekanisme perubahan itu sendiri.

1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah  mendeskripsikan perubahan bahasa, mekanisme, dan pandangan tradisional tentang perubahan bahasa.

2. PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Bahasa
(Wadhaught dalam Chaer) menyatakan bahawa perubahan bahasa itu tidak dapat diamati, sebab perubahan itu sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang dalam waktu yang terbatas. Namun yang dapat diketahui adalah bukti adanya perubahan bahasa itu. Inipun terbatas pada bahasa-bahasa yang mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang sudah lama berlalu.
Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, entah kaidahnya direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru, dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik maupun leksikon.
Pada bahasa-bahasa yang mempunyai sejarah panjang tentu perubahan-perubahan itu sudah terjadi berangsur dan bertahap.
Menurut Sausure (1959) dan Bloon Fleld (1913) yang dapat kita lakukan  adalah mengamati akibat dari perubahan bahasa tersebut. Akibat yang terutama dari perubahan bahasa, adanya perbedaan  terhadap struktur bahasa tersebut, para ahli bahasa awalnya mengamati perubahan bahasa dalam bentuk adanya variasi bahasa.

      2.1.1  Perubahan Fonologi
                  Chaer (2004:137) Perubahan fonologis dalam bahasa Inggris ada juga yang berupa penambahan fonem. Bahasa Inggris kuno  dan pertengahan tidak mengenal fonem /z/. lalu ketika terserap kata-kata seperti azure, measure, rouge dari bahasa prancis, maka fonem /z/ tersebut ditambahkan dalam khazanah fonem bahasa inggris. Perubahan bunyi dalam sistem fonologi bahasa Indonesiapun dapat kita lihat. Sebelum berlakunya EYD, fonem /f/, /x/, dan /s/ belum dimasukan dalam khazanah fonem bahasa Indonesia; tetapi kini ketiga fonem itu telah menjadi bagian khazanah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lama hanya mengenal empat pola silabel, yaitu V, VK, KV, dan KVK; tetapi kini pola KKV, KKVK, KVKK telah pula menjadi pola silabel dalam bahasa Indonesia.

      2.1.2   Perubahan Morfologi
Chaer (2004: 137) Perubahan bahasa dapat juga terjadi dalam bidang morfologi yakni dalam proses pembentukan kata. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia ada proses penasalan dalam proses pembentukan kata dengan prifeks me-  da pe-. Kaidahnya adalah: (1) apabila kedua prifeks itu diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /I/, /r/, /w/, dan /y/ tidak terjadi penasalan; (2) kalau diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /b/ dan /p/ diberi nasal /na/; (3) kalau diimbuhkan pada kata yanmg dimulai dengan konsonan /d/ dan /t/ diberi nasal /n/; (4) kalau diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /s/ diberi nasal /ny/; dan bila diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /g/, /k/, /h/, dan semua vokal diberi nasal /ng/.

      2.1.3    Perubahan Sintaksis
Chaer (2004: 138) Perubahan kaidah sintaksis dalam bahasa Indonesia juga dapat kita saksikan. Umpamanya, menurut kaidah sintaksis yang berlaku sebuah kalimat aktif transitif harus selalu mempunyai objek; atau dengan rumusan lain, setiap kata kerja aktif transitif harus selalu diikuti oleh objek. Tetapi dewasa ini kalimat aktif transitif banyak yang tidak dilengkapi objek, seperti:
      -          Reporter anda melaporkan dari tempat kejadian.
      -          Pertunjukan itu sangat mengecewakan.
      -          Sekretaris itu sedang mengetik di ruangannya.
      -          Dia mulai menulis sejak duduk di bangku SMP.
      -          Kakek sudah makan, tetapi belum minum.

      2.1.4     Perubahan Kosakata
                  Chaer (2004: 139) Perubahan bahasa yang paling mudah terlihat adalah pada bidang kosakata. Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakatanya baru, hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata. Bahasa inggris yang diperkirakan memiliki lebih dari 60.000 kosakata adalah “berkat” penambahan kata-kata baru dari berbagai sumber bahasa lain, yang telah berlangsung sejak belasan abad yang lalu. Sedangkan bahasa Indonesia yang kabarnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki sekitar 65.000 kosakata (dalam kamus poerwadarminta hanya terdapat 23.000 kosakata) adalah juga berkat tambahan berbagai sumber, termasuk bahasa-bahasa asing dan bahasa-bahasa nusantara.

      2.1.5      Perubahan Semantik
Chaer (2004: 141) Perubahan semantik yang umumnya adalah berupa perubahan pada makna butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit. Perubahan yang bersifat total, maksudnya, kalau pada waktu dulu kata itu, mialnya, bermakna ‘A’, maka kini atau kemudian menjadi bermakna ‘B’.
                  Perubahan makna yang sifatnya meluas (broadening), maksudnya dulu kata tersebut hanya memiliki satu makna, tetapi kini memiliki lebih dari satu makna. Dalam bahasa inggris kata holiday asalnya hanya bermakna ‘hari sucu (yang berkenaan dengan agama)’, tetapi kini bertambah dengan makna ‘hari libur’,.
                  Perubahan makna yang menyempit, artinya kalau pada umumya kata itu memiliki makna yang luas, tetapi kini menjadi lebih sempit maknanya. Umpamanya, kata sarjana dalam bahasa Indonesia pada mulanya bermakna ‘orang cerdik pandai’, tetapi kini hanya bermakna ‘orang yang sudah lulus dari perguruan tinggi’.

Dalam pengguna bahasa tersebut,  belakangan ahli bahasa  dalam pengguna bahasa  tidak  hanya dapat  mengamati bagaimana sebuah bahasa terdistribusi  di masyarakat, tetapi juga bagaimana  sebuah perubahan terjadi dalam suatu bahasa.
Perubahan bahasa yang terjadi di dalam internal bahasa sendiri, yang menyebabkan perbedaan struktur bahasa  akibatnya dalam jangka waktu tertentu sebuah kata  diucapkan  berbeda seperti pada kata  dalam bahasa Inggris ada dua kata berbeda  untuk menyebutkan kuda, horse dan hoarse. Dan ada juga dua kata yang awalnya berasal dari satu kata seperti thin dan thing, sehingga terjadi satu unit pengucapan  kata menjadi dua. Perubahan yang kedua  adalah perubahan yang hakekatnya  merupakan perubahan eksternal. Perubahan ini terjadi akibat adanya peminjaman (borrrowing) daribahasa//dialek lain ke dalam sebuah bahasa. Dalam bahasa Inggris  contohnya adalah pengucapan zh,ut\ dalam contoh mengucapkan jeanne. Beberapa bahasa di dunia juga mengalami peminjaman  dari bahasa –bahasa lain, seperi bahasa hindu banyak meminjam dari bahasa Sansekerta, atau bahasa Urdu dari bahasa Arab.
Peminjaman  kadang kala terjadi tidak hanya  kepada tataran pengucapan saja, tetapi juga kepada tataran tata bahasa meskipun hal ini sangat terbatas.

2.2  Pandangan Tradisional
Perubahan bahasa yang terjadi didalam internal bahasa sendiri, yang menyebabkan perbedaan struktur bahasa. Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu sebuah kata diucapkan berbeda. Dalam bahasa Inggris, ada dua kata berbeda untuk menyebut kuda, horse dan hoarse. Juga ada dua kata yang awalnya berasal dari satu kata, thin dan thing. Sehingga terjadi satu unit pengucapan kata menjadi dua.
Perubahan yang kedua adalah perubahan yang hakikatnya merupakan perubahan eksternal. Perubahan ini terjadi akibat adanya peminjaman (borrowing) dari bahasa/dialek lain ke dalam sebuah bahasa. Dalam bahasa Inggris contohnya adalah pengucapan Zh untuk J dalam contoh mengucapkan Jeanne.
Beberapa bahasa di dunia juga mengalami pemijaman dari bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Hindi banyak meminjam dari bahasa Sansakerta, atau bahasa Urdu dari bahasa Arab. Peminjaman kadangkala terjadi tidak hanya kepada tataran pengucapan saja tetapi juga kepada tataran tata bahasa meskipun hal ini sangat terbatas.
Pandangan tradisional terhadap perubahan bahasa juga tertarik melihat “kekerabatan bahasa”/ ” keluarga bahasa” dan hubungan antara bahasa-bahasa. Ahli bahasa merekonstruksi sejarah bahasa yang saling berhubungan, yang memiliki kemiripan, sehingga dapat melihat suatu saat di masa lalu ketika satu bahasa terpecah atau hilang.
Pendekatan alternatif, gelombang bahasa, lebih mudah digunakan dalam melihat perubahan bahasa. Dengan pendekatan ini, perubahan bahasa yang timbul dilihat sebagai sebuah aliran dan interaksi bahasa-bahasa. Meskipun tidak mudah untuk melihat aliran bahasa yang masuk ke suatu bahasa.  Ini merupakan jenis perubahan bahasa yang ketiga, yaitu bahwa bahasa berkembang dan menyebar. Pengamatan mengenai perkembangan bahasa ini disebut etimologi, yaitu kajian yang menyelidiki asal usul kata.
Dengan konsep “gelombang” dan “difusi” bahasa, akan membantu kita memahami proses perubahan bahasa. Konsep mengenai “keluarga/kekerabatan bahasa” melihat akibat yang ditimbulkan dalam perubahan yang terjadi dalam sebuah bahasa.

2.3 Beberapa Perubahan Bahasa yang sedang Berlangsung
Beberapa ahli bahasa mengamati perubahan bahasa yang sedang terjadi. Misalnya, Chambers dan Trudgill (1980) menjelaskan perkembangan pengucapan r uvular (pengucapan dengan anak lidah) dalam bahasa Eropa Barat dan Eropa Utara. Dulu pengucapan r di wilayah tersebut dengan apikal (menempelkan ke langit-langit) atau bergetar, tetapi mulai abad ke-17 cara pengucapan r uvular menyebar dari Paris menggantikan cara pengucapan r yang lain. Cara pengucapan ini menjadi cara pengucapan standar di Perancis, Jerman, dan Denmark, juga ditemukan di Belanda, Swedia, dan Norwegia.
Seorang ahli bahasa, Gimson (1962) mengamati bahwa beberapa pengucapan huruf vokal diftong cenderung diucapkan menjadi satu huruf vokal, contoh pada kata home. Gejala ini biasanya terjadi pada lingkungan anak muda. Di AS, beberapa contoh ditemui, misal: naughty à notti, caught à cot, dawn à don.
Dari contoh di atas dapat diamati bahwa faktor usia, anak muda kecenderungan untuk menggunakan bahasa yang berbeda dengan generasi yang lebih tua. Meksipun, faktor usia bukanlah jaminan mengenai fenomena perubahan bahasa. Bukan jaminan, ketika sekelompok anak muda menggunakan bahasa yang berbeda dengan mereka yang lebih tua, tetapi kemungkinan pada kurun tertentu di masa ketika mereka menjadi lebih dewasa/tua mereka tetap mempertahankan gaya bahasa mereka. Bisa jadi mereka akan menggunakan bahasa sesuai dengan usia mereka. Untuk melihat fenomena ini, maka metode penelitian survei cocok untuk diterapkan. Penelitian dilakukan kepada penggunaan bahasa oleh sampel sekelompok anak muda, kemudian ketika mereka berusia 20 – 30 tahun, penggunaan bahasa mereka di cek lagi apakah cenderung sama atau berubah, dan hasilnya dibandingkan.
Penelitian yang membandingkan dua set data pada dua kurun waktu yang berbeda dilakukan oleh Labov (1963) dalam hal pengucapan bahasa di Vineyard Martha, tiga mil dari Massachussets, penduduknya terdiri dari orang Yankee, Portugis, dan Indian America. Penelitiannya berfokus kepada dua set kata: (1) out, house, dan trout dan (2) while, pie, dan night. Penelitian dilaksanakan pada tahun 1930. Variabel penelitian dua set, pertama (aw) untuk variabel (au ) atau (əu), kedua (ay) untuk variabel (ai) atau (ei).
Pada tahun 1972, Labov mempublikasikan temuannya. Penjelasan dari temuannya adalah penduduk asli merasa lebih memiliki pulau mereka dengan menggunakan variabel pertama (aw) dan (ay). Temuan tersebut mengindikasikan bahwa anak muda masih bebas untuk memilih, di mana akan tinggal. Tidak seperti orang tua, yang merasa nyaman dengan tempat tinggalnya, sehingga cenderung memilih penggunaan bahasa yang berbeda dari pada ketika masih mudanya.
Labov juga mengamati perbedaan pengucapan r oleh kelompok sosial kelas menengah yang cenderung lebih “hiperkorektif” dalam mengucapkan r dengan pengucapan yang lebih jelas, juga oleh laki-laki dari pada perempuan. Perempuan mulai mengucapkan r dengan lebih jelas seperti halnya laki-laki.  Hal ini mengindikasikan bahwa kelas sosial yang lebih rendah telah menerima gaya bahasa yang formal.
Trudgill (1972) mengamati perubahan bahasa yang sedang terjadi. Dia mengamati bahwa pekerja wanita lebih suka mengucapkan (ng) dengan (n), contoh pada kata singing, wanita mengucapkan (singin’) bukan (singing). Pengamatannya menghasilkan temuan bahwa perubahan bahasa juga ditentukan oleh faktor gender.
Cheshire (1978) melakukan penelitian di Reading, Inggris. Dia menemukan bahwa anak laki-laki dari strata kelas sosial bawah lebih sering menggunakan sintaksis bahasa yang tidak standar dari pada anak perempuan. Gejala ini menunjukkan, adanya “solidaritas” dalam penggunaan bahasa.
Penelitian-penelitian di atas mengarahkan kita untuk membatasi area yang mengakibatkan perubahan bahasa. Yang memotivasi perubahan bahasa dapat beragam, mulai dari: mencoba menjadi warga kelas “yang lebih tinggi” atau sebaliknya “lebih rendah”, agar tidak dianggap “orang asing”, atau agar dianggap memiliki jiwa “solidaritas”. Wanita juga dianggap cukup aktif dalam membawa perubahan bahasa, meskipun laki-laki juga bisa.

2.4  Mekanisme Perubahan
Menurut Labov (1972) ada beberapa mekanisme dasar dalam perubahan bahasa. Mekanisme yang memiliki tiga belas tahapan, dan Labov menyebut delapan tahapan pertama sebagai “perubahan dari bawah”, sementara lima sisanya disebut sebagai perubahan dari atas”. Berikut ketiga belas tahapan tersebut:
1.   Bunyi berubah biasanya bermula ketika penggunaan bahasa anggota kelompok dari komunitas penutur bahasa tertentu terbatasi, yaitu masa dimana ketika identitas komunitas yang terpisah menjadi lemah. Bentuk linguistik yang berganti biasanya berupa penanda status wilayah dengan distribusi penggunaan bahasa yang tidak merata dalam masyarakat. Pada tahap ini, variabel linguistik yang berubah belum ditentukan.
2.  Perubahan baru terjadi ketika ada generalisasi bentuk (pola) linguistik oleh anggota kelompok penutur bahasa; tahapan ini biasanya disebut dengan perubahan dari bawah, yaitu perubahan yang terjadi dari kesadaran sosial. Variabel linguistik menunjukkan belum ada pola variasi gaya bahasa dalam penggunaan bahasa oleh penuturnya, namun mempengaruhi semua kelas kata yang telah ada sebelumnya. Variabel linguistik pada tahap ini ini merupakan sebuah indikator yang ditetapkan sebagai fungsi keanggotaan pada komunitas sosial.
3.   Berhasil meningkatkan jumlah penutur bahasa pada kelompok sosial yang sama serta berhasil merespon tekanan sosial masyarakat yang sama, membawa variabel linguistik menuju proses perubahan bahasa, menjadi berbeda dari bahasa induknya. Perubahan ini disebut perubahan hiperkorektif dari bawah.
4.   Ketika sistem nilai masyarakat penutur asli bahasa diadopsi oleh kelompok masyarakat lain, perubahan bunyi-bunyi bahasa yang berkaitan nilai-nilai kemasyarakatan tersebut agar menyebar kepada kelompok masyarakat yang mengadopsinya.
5.  Batas dari penyebaran perubahan bahasa merupakan batas dari komunitas  bahasa.
6.  Ketika perubahan bunyi bahasa dengan segala nilai-nilai sosial yang melekat didalamnya mencapai batas penyebarannya, maka variabel linguistik menjadi  salah satu norma yang menjadi bagian dari masyarakat, dan akan dijaga oleh masyarakat. Variabel linguistik ini sekarang menjadi penanda dan akan mulai menunjukkan variasi/gayanya sendiri.
7.   Perubahan variabel linguistik di dalam sistem linguistik akan selalu menyesuaikan distribusi unsur-unsur linguistik yang lain dalam tataran fonologi.
8.   Penyesuaian struktur menyebabkan perubahan bunyi kebahasaan yang masih berhubungan dengan bahasa asalnya. Tetapi kelompok penutur bahasa yang baru akan memperlakukan bunyi bahasa yang diterimanya sebagai bunyi baru dalam komunitas penutur bahasa tersebut.
9.   Apabila kelompok penutur bahasa yang menerima bahasa baru bukan dari kelas yang lebih tinggi, maka kelompok masyarakat yang berasal dari kelas yang lebih tinggi akan “mempengaruhi” bentuk linguistik.
10. Perubahan diatas merupakan perubahan dari atas,  suatu koreksi bagi bentuk kebahasaan yang berubah karena mendapat pengaruh dari bahasa kelompok masyarakat yang lebih tinggi, yaitu model bahasa yang prestis.
11. Apabila model bahasa prestis (bergengsi) tidak mendukung bentuk kebahasaan yang digunakan oleh kelompok masyarakat dalam beberapa bentuk kelas kata, maka kelompok lain akan melakukan hiperkoreksi, memasukkan unsur kebahasaan yang seharusnya dilakukan oleh bahasa prestis.. Ini disebut dengan hiperkoreksi dari atas.
12.  Dalam perubahan yang kuat, satu bentuk kebahasaan akan muncul, dan  mungkin juga menghilang. Hal ini disebut dengan streotipe / model bahasa.
13.  Apabila perubahan bahasa terjadi pada kelas sosial yang lebih tinggi, bentuk bahasa akan menjadi model bahasa prestis. Bahasa yang kemudian akan diadopsi oleh penutur bahasa yang lain sesuai dengan proporsi kontak bahasa penutur bahasa terebut dengan bahasa prestis .

Perubahan bahasa terjadi melalui cara-cara yang kompleks dengan berbagai jalan perubahannya, secara sadar atau tidak sadar dalam perubahan bahasa, tempat yang membuat tingkat sosial masyarakat ikut mempengaruhi perubahan.
Perubahan bahasa dari atas merupakan perubahan bahasa secara sadar. Seharusnya perubahan tersebut juga diikuti oleh pola-pola linguistik yang standar. Perubahan dari bawah merupakan perubahan bahasa secara tidak sadar dan cara tersebut jauh dari pola-pola linguistik standar.  Yang menarik juga adalah wanita dianggap kelompok pertama yang membawa perubahan bahasa, sementara laki-laki kedua. Wanita memiliki motivasi untuk mengikuti dan menyesuaikan dengan pengguna bahasa yang lebih kuat sementara laki-laki cenderung mengikuti temannya. Wanita cenderung lebih sadar untuk memahami perubahan bahasa sementara laki-laki tidak.






3. SIMPULAN

Perubahan bahasa berarti adanya perubahan kaidah, entah kaidahnya direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru, dan semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik maupun leksikon
Mekanisme dasar dalam perubahan bahasa memiliki tiga belas tahapan, perubahan bahasa dari atas merupakan perubahan bahasa secara sadar, yang diikuti oleh pola linguistik yang standar sedangkan perubahan dari bawah merupakan perubahan secara tak sadar.
Yang memotivasi perubahan bahasa dapat beragam, mulai dari  mencoba menjadi warga kelas “yang lebih tinggi” atau sebaliknya “lebih rendah”, agar tidak dianggap “orang asing”, atau agar dianggap memiliki jiwa “solidaritas”


















DAFTAR PUSTAKA
.
Aslinda dan Leni Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT. Refika Aditama.

Chaer, Abdul dan Leoni Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.  Jakarta: Rineka Cipta